Aku tak mau naik kapal besi bersayap ini dan membawaku melesat terbang dalam perjalanan yang mengerikan untuk tinggal bersama Ayahku. Ayahku? Apakah dia benar-benar Ayahku, aku masih sanksi atas hal itu, karena aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Yang ku tahu dia adalah Ayah yang brengsek, Ayah yang paling payah di dunia ini. Kerana dia telah meninggalkan Ibuku sejak aku masih dalam kandungan.
Aku tak mau diseret beribu-ribu mil jauhnya dari semua kehidupanku dan dari semua teman-temanku. Bahkan jauh dari kotak kayu dingin yang tenggelam di tanah yang didalamnya ada Ibuku yang kedinginan, sendirian dan dalam kegelapan. Saat ini aku hanya berharap, aku tak mau terperangkap dalam besi sialan yang bisa terbang ini. Sesaat terlintas dalam kepalaku untuk beberapa detik, apakah aku harus merangkak,memohon kepada Bibiku satu-satunya agar dia membawaku pulang bersamanya, dan tinggal dirumahnya yang sangat sederhana –sangking sederhananya untuk meluruskan kaki saja tak sanggup- jadi kutahan saja keinginanku untuk merengek.
Depresi? Siapa? Aku? YA.
Ngomong-ngomong soal Ayahku. Aku baru menyadari saat aku cukup besar, kalau aku tak punya seorang Ayah? Kadang sebuah pertanyaan yang terlontar dan pasti pertanyaan itu tertuju untuk Ibu. “Kok dia bisa punya Ayah, dan aku tidak?” Tetapi Ibu hanya menceritakan tentang Ayahku saat sebelum aku lahir. Tapi karena ada Bibi, sedikit banyak aku mulai mengenal siapa Ayahku.
Sejak usiaku 4tahun, setiap tanggal ulang tahunku. Bibi selalu bilang, kalau dia akan mengajakku menemui Ayahku. Tetapi dia mengajakku pergi ke gedung yang mempunyai TV yang super besar. Sangat ingat saat itu saat lampu-lampu mulai meredup dan filmnya dimulai, aku belum menemukan Ayahku “Dimana dia?” aku berkeras ingin tahu, nyaris menangis. Lalu Bibi merangkulku dan menuding sosok pria berukuran raksasa dalam layar. “Itu dia Ayahmu sayang.” Ayahku seorang aktor terkenal, yang bisa memainkan perannya dengan sangat hebat –anggapanku saat itu- tetapi semenjak aku beranjak dewasa Ayahku tidak sehebat itu, dia hanyalah Ayah yang payah.
Saat aku naik pesawat ini, aku berkata “Aku tidak mau naik pesawat ini.” Tapi sekarang setelah pesawat ini tiba di tempat tujuannya, “Aku tidak mau pergi dari tempat duduk ini.” Aku bergerak sangat lambat saat mengemasi barang-barangku, dan memaksa diriku untuk menyusuri lorong, melewati pramugari yang menganggukan kepala, dan akhirnya sampai diambang pintu pesawat. Dan dengan sedih menyadari bahwa langkahku membawa aku semakin dekat dan dekat ke donator sperma itu.
Itu dia sang “Aktor Terkenal” dalam tiga dimensi penuh yang bisa kulihat dengan nyata, tapi dia tidak menyadari kedatanganku. Aku tidak tahu apakah aku harus berlari menghampirinya atau kabur. Kalau saja aku merasa ingin berlari dan memeluk lehernya, kalau saja aku merasa ingin mengatakan kalau aku menyayanginya dan semuanya telah termaafkan. Tapi nyatanya aku tak melakukan apa-apa. Aku hanya sibuk memperhatikannya yang sedang memberi tanda tangan untuk penggemarnya.
Oh, dia melihatku. Perasaan nyaman yang seketika bermetamorfosis jadi rasa ngeri. Dia berjalan kepadaku, tersenyum dan berkata “Kau pasti Siska?” Ingin rasanya aku berkata “Bukan, tolol.” Ingin sekali rasanya aku mencengkeram kerahnya dan menjerit, “Kemana saja kau seumur hidupku, dasar makhluk tak berharga.” Tetapi semua kata-kata itu hanya tertahan dalam tenggorokanku dan aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan bodoh tadi.
”Selamat datang putriku tersayang!” Seolah-olah dia sudah melatihnya dulu. Seolah-olah dia tulus mengatakannya. Seakan-akan ia benar-benar tulus. Yah, memangnya kenapa kalau dia benar-benar tulus? Karena aku akan memberitahunya bahwa dia tidak bisa masuk seenaknya dalam kehidupanku dan memainkan perannya sebagai ayahku. Tidak setelah Ibuku melakukan kerja keras mendidikku menjadi manusia yang pantas, yang tak dilakukannya. Tetapi, aku disini untuk memberitahunya bahwa ini akan menjadi peran tersulit yang harus dia mainkan.
Rasanya ngeri naik limo, padahal sebelumnya aku juga sudah pernah naik limo, saat pemakaman Ibu. Tapi bedanya sekarang, ada seorang bintang film tepat disebalahku yang terus memandangiku seakan-akan aku bintang film. Dan sekarang matanya berkabut dengan cara menjijikan dan dia berkata, “Kau mirip sekali dengan ibumu.” Wow, aku merasa seolah-olah aku ini bintang film salah satu opera sabun jelek. Dan sutradara mulai berteriak “Cut!” Kalau aku tidak menyimak dan mengingat dialogku. Jadi aku berkata “Kau lebih pendek daripada yang tampak di layar.” Dan itu praktis meludahkan kata-kata itu diwajahnya.
Dalam perjalanan sangat panjang, meliuk menembus hutan, pepohonan palem yang menggerak-gerakkan leher kurus mereka. Rumah itu mulai tampak. Bagaikan di negeri dongeng. Menara kecil. Balkon. Bahkan ada sesuatu yang kelihatannya seperti jembatan. Apa? Benar-benar serasa di negeri dongeng.
Dia membimbingku saat melewati pintu muka. Dan apa yang ku lihat membuatku kesulitan menjaga mataku agar tak keluar dari soketnya. Lorong depannya saja lusanya dua kali rumah dan Ibu tinggal. Lantainya saja berkelip-kelip. Ada kolam ikan dalam ruangan yang berdeguk tepat di tengahnya, anak tangga pualam meliuk sebelah kiri, dan di sisi kanan, sebuah ruang duduk kurang-lebih seluas lapangan sepak bola. Bercanda ding, mungkin terlalu melebih-lebihkan. Setengah luas lapangan sepak bola, tepatnya. Benar-benar rumah yang sederhana.
Ia menuntunku keluar dari ruangan itu dn menaiki anak tangga, menyusuri lorong yang dilapisi permadani sangat lembut hingga aku tenggelam sampai pergelangan kaki. Dan ia berhenti di sebuah pintu kayu ek, membukanya, dan menunjukan –kamar tidurku. Aku nyaris pingsan melihatnya. Karena ini adalah kamar impianku. Ini benar-benar kamar yang ku impi-impikan. Dan melihatnya merupakan pengalaman amat sangat mengherankan karena ini kamar yang sama persis dengan yang pernah kudeskripsikan dalam esai di perlombaan yang kumenangkan sebagai juara pertama. Siapapun yang merancangnya pasti telah membaca pikiranku. Di sana ada perapian batu, lampu-lampu gelas berwarna yang antic, dn tempat duduk yang nyaman di samping jendela. Bahkan disana ada rak buku besar yang penuh dengan buku-buku. Tak ayal tempat tidur berkanopi dihiasi kelambu renda, begitu tinggi dengan tumpukan selimut tebal dan bantal. Sial. Ini kamarku yang selalu ku idamkan. Hanya saja aku tidak menginginkannya di sini.
Hhanna
to be continued :D
Sabtu, 04 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar