Saat tengah menghitung
penghasilan bulananku yang terdiri dari gaji dan pemasukan “lain-lain” entah
mengapa tiba-tiba dadaku seperti ditusuk berpuluh jarum goni. Sakit. Sangat
sakit. Jantungku berdetak sangat kencang. Berdegup-degup.
Gerakannya bahkan bisa
terlihat saat kemaja yang aku kenakan turut berdenyut. Keringat dingin secara
berleleran.Uang yang tengah kugenggam di tangan berserakan di lantai.
Rasa sakit bertambah.
Dadaku serasa terbakar. Panas. Kemeja tergesa kubuka. Kulitku rekah. Dagingku
terkoyak. Dadaku retak, seperti bongkahan tanah yang kering tak pernah tersiram
air. Tepat di antara rangka tulang iga, muncul lobang kecil sebesar kelingking
bayi. Lobang itu perlahan membesar. Anehnya tak ada darah yang mengucur dari
sana.
Saat kepala kulongokkan
dan mata kupicingkan, hanya kegelapan di dalam sana yang terlihat. Tak bisa ku
saksikan tulang iga, serabut otot, gumpalan daging, jantung, paru-paru. Hanya
hitam dan pekat. Belum selesai masalah dengan rasa sakit, kejut campur takut,
dari lobang itu seperti ada sesuatu yang mendesak. Sesuatu itu
menggeliat-geliat, berusaha memperlebar lubang yang ada.
Kepala manusia!
Sesuatu yang keluar
dari dadaku sewujud kepala manusia. Kepala yang mengintip sebentar. Lobang
tambah lebar, seiring usaha kepala itu menjejal keluar. Mula-mula rambutnya.
Memburai. Ikal dan legam. Kemudian jidatnya nongol. Seterusnya mata, hidung,
mulut dan seluruh batok kepala telah ada di luar, sedikit leher orang itu masih
memdekam di dalam dada. Mata orang itu memandangku, mulutnya tersenyum,
memperlihatkan deret gigi yang putih bersih, tapi terawat.
“Selamat malam.”
Ia menyapaku. Reflex
lantaran takut, aku segera menapuk kepala itu kembali kedalam tubuhku. Ia
terbenam. Sesaat saja. Ia menyembul lagi. Menyeringai, tampaknya tak suka
dengan apa yang kulakukan. Tak peduli dengan reaksinya, kujejalkan lagi kepala
itu.
Bayangkan bila
tiba-tiba istri dan anak-anakku muncul dan mendapati ada kepala manusia sedang
tumbuh di dadaku! Cepat kuambil plester dan lem untuk merekatkan kulitku. Namun
itu segera menjelma kesia-siaan. Kepala itu menyeruak lagi, menghardikku dengan
marah. Teramat marah.
“Brengsek! Kau mau
mencoba membunuh dirimu sendiri!”
Ia menggeliat lebih
hebat, dua tangannya kini berada diluar, mencengkeram kerah legerku erat.
Napasku sesak.
“Kau ulangi sekali lagi,
kucekik lehermu hingga mampus, Biar kita mati bersama-sama!” Ia mengancamku,
cengkeraman tangannya lebih kuat.
“Sssiapa kau?”
“Kau lupa dengan
wajahmu sendiri? Bodoh!”
“A…a…aku?”
“Ambil cermin, lihat
wjahmu. Bandingkan dengan wajahku. Dasar bodoh. Orang macam kau, kok bisa jadi
direktur.”
Aku menyahut cermin
yang tadi kupakai bercukur, kupandangi wajahku. Kagum sebentar, ternyata aku
lumayan ganteng. Lantas ku amati wajah orang itu. Benar adanya. Wajahnya mirip
aku. Tidak hanya mirip, malah persis. Ya, sangat persis. Seperinya aku sedang
berkaca pada sebuah cermin bening. Tidak bisa dipercaya, tidak bisa dinalar.
“Bagaimana ini bisa
terjadi? Siapa kau sebenarnya?”
“Kau masih saja bodoh.
Aku ini dirimu.”
“Maksudmu. Kau
duplikatku?”
“Goblok. . . goblok. .
. Aku bukan sekedar kembaranmu. Aku adalah kau dan kau adalah aku.”
“Aku bingung.”
“Dasar direktur dungu.”
“Maksudku, bagaimana
ini bisa terjadi?”
“Bukankah aku yang kau
impikan selama ini?”
“Aku belum bisa mengerti.”
“Bego! Bukankah selama
ini kau selalu gelisah setiap hari. Tidak pernah puas dengan keadaanmu yang
sudah kecukupan. Kau ingin lebih dan lebih setiap haru. Kau ingat, waktu sudah
punya satu mobil, kau masih ingin mobil lagi, yang lebih baru, lebih mewah. Dua
mobil kurang, beli lagi dan beli lagi. Coba kau hitung berapa mobilmu sekarang.
Satu, dua,tiga, . . . sepuluh bukan? Kau juga sudah punya ruamh megah, masih
membeli ruamh lagi. Berapa rumahmu sekarang. Dua pulu. Benar? Tersebar di
seluruh kota.”
“Bagaimana kau bisa
tahu?”
“Aduh tololnya kau ini.
Aku adalah kamu dan kamu adalah aku.”
“Oh, ya . . . ya. Aku
lupa. Lantas hubungannya apa antara kamu,
mobil, serta ruamh tadi.”
“Aku lahir karena
impianmu, kehendakmu, cita-citamu. Aku ada karena kegelisahanmu.”
“Kau ingin juga
memiliki hartaku!”
“Wah rupanya sudah
berani membentak, ya!”
Tangannya mencengkeram
leherku lagi, kuat. Lebih kuat.
“Oh, . . . maaf. Maaf.”
“Begini. Kau selalu
merasa kurang dan kurang setiap hari. Hanya istri saja yang tidak kau tambah.
Meski begitu, bukankah wanita simpananmu teramat banyak? He. . . he. . .he.
Tapi, sayangnya selama ini kau takut untuk melakukan hal yang lebih dan apa
yang telah kau dapat, meski kau sangat ingin menambah kekayaanmu. Singkat saja,
kau hanya berani mengutil uang perusahaan kecil-kecilan. Sembunyi sembunyi. Kau
ingin seperti para konglomerat dan koruptor yang bisa membobol bank dan
memanipulasi uang orang lain itu, kan? Tapi kau takut tertangkap. Maklum,
relasimu kurang kuat. Bukankah kau sering berandai bila kau bisa diklononing.
Bukan begitu? Nah, akulah jawabannya.”
“Ehmmmm.”
“Sekarang, kau tak
perlu takut lagi. Kau bisa korupsi lebih rakus. Bisa membobol bank. Bisa menipu
orang dan perusahaan. Dan kau juga membeli rumah, tanah, mobil, dan menumpuk
harta hingga bergunung-gunung.”
“Lantas bagaimana kalau
nanti aku tertangkap.”
“Bodoh! Bukankah ada
aku. Jika kau tertangkap dan diadili, suruh hakim menghukum kau mati.
Hitung-hitung memberi contoh pejabat dan konglomerat yang korup namun masih
berani berkeliaran. Mentang-mentang tak tersentuh hukum. Jika kau dijatuhi
hukuman mati, bukankah masih ada aku. Ingat aku adalah kamu dan kamu adalah
aku. Jika aku tertangkap lagi, dihukum mati lagi, sebelumnya aku akan
menduplikasikan diri. Demikian seterusnya. Kau akan tetap ada, meski
pemerintahan dan peraturan berganti. Kau akan tetap makmur meski orang lain
sekarat dan mengerjat.”
“Lantas, jika
tertangkap. Nanti ada dua aku, dong?”
“Menguntungkan bukan?
Akan banyak kamu dan aku. Manusia dengan watak yang sama dan sifat yang sama.
Serakah dan jahat. Tapi tak seperti penjahat.”
“Itu nanti bisa
membingungkan orang. Masyarakat bisa geger.”
“Wah benar juga.”
“Ah, aku ada akal.
Operasi plastik! Kita mesti mengubah wajah.”
“Ehmm. Cerdas juga kau
ternyata.”
Usai menemukan kesepakatan.
Ia melanjutkan prosesi keluar dari dalam diriku. Perlahan-lahan kulitku yang
tadinya retak menutup kembali. Jantungku bedenyut normal.
Sungguh, ia benar-benar
aku. Wajah, tinggi badan, cara berjalan, gaya bicara serta watak dan
kepribadian. Untuk mengatasi permasalahan jika istriku mengetahui apa yang
telah terjadi, kami bersepakat agar salah satu dari kamu menyingkir ke rumahku
yag lain.
Seterusnya kami akan
mengatur cara bagaimana aku memperkaya diriku dangan cara-cara jahat yang
elegan.
* * *
Maka demikianlah,
kekayaanku menumpuk setiap harinya. Mobil mewah dan rumah megah semaki tak
terhitung. Pabrik dan perusahaan juag bertambah setiap waktu. Uang menjadi hal
yang mudah didapatkan tanpa perlu memeras tenaga dan keringat. Semuanya menjadi
kian mudah.
Aku dan duplikatku tak
pernah tertangkap. Memang sekali waktu pernah orang-orang menuduhku, sempat
pula dibawa ke pengadilan. Namun kejahatanku tak pernah bisa dibuktikan.
Kalaupun bisa, bukankah aku sudah mempunyai solusi atas semua itu. Aku punya
banyak uang, dan bisa kulakukan semuanya dengan uang itu.
Namun ada hal yang
lebih penting yang perlu kuungkap betapa aku selalu merasa tidak puas. Aku
merasa kurang dan selalu kurang. Aku juga gelisah. Jika sudah demikian, maka
prosesi penduplikasia ndiri berulang. Memang teramat sakit, jantungku berdenyut
hebat, kulitku retak. Ada lobang di antara iga. Dan perlahan-lahan muncul
diriku lagi.
Penduplikasian kedua
kalinya itu, tak memakan waktu lama, lantaran tak ada lagi yang perlu
dicakapkan antara aku dan dia. Aku dan dia adalah satu: satu kegelisahan, satu
ambisi, satu keinginan, dan satu keserakahan.
Hingga prosesi
penggandaan diri tak lagi menimbulkan rasa sakit. Semua berjalan sangat normal.
Bahkan kini aku sangat menikmatinya, melebihi bercinta dengan wanita simpanan.
Entah berapa kali aku
telah menduplikasikan diri. Entah berapa banyak aku telah tercipta dan ada.
Meski demikian, aku tak lupa berpesan pada duplikatku, bahwa untuk
menghindarkan kecurigaan masyarakat: bahwa kami tak boleh mempunyai wajah yang
sama. Kami harus mengubah wajah kami secara berlainan. Maka, menjelmalah kami
menjadi laki-laki atau perempuan dengan bermacam profesi: mulai dari mahasiswa,
pengusaha, konglomerat, aparat, wakil rakyat, birokrat, pejabat dan
lain-lainnya. Oh ya, tak satupun dari kami yang miskin. Semua kaya dan berada.
Sebagian besar dari kami dihormati. Desegani dan ditakuti. Hanya beberapa yang
dicela. Sangat sedikit yang masuk penjara.
Kami semakin bertambah
banyak setiap hari, lantaran setiap duplikasi sudah berhak menduplikasikan
dirinya sendiri. Jadi bukan hanya aku saja yang bisa menduplikasi diri.
Bukankah kami mempunyai
kegelisahan yang sama akan keserakahan. Bukankah kami mempunyai tujuan sama :
memuaskan diri kami dan keinginan kami seakan tak pernah tercukupi itu. Pada
waktu yang terus merangkak, kami semakin bersemangat menduplikasi dan
terus-menerus memperbanyak diri. Kami telah bertekad memenuhi negeri ini dengan
diri kami : orang yang mempunyai sifat, ambisi dan niat yang sama.
O la la, hampir lupa.
Aku pribadi berencana untuk mengajukan diri menjadi calon presiden negeri ini.
Akan kugunakan segala cara untuk mencapainya. Bukankah aku mempunyai modal yang
kuat untuk itu? Hartaku berlimpah. Kalaupun kurang aku bisa meminta bantuan
dari para duplikat yang tersebar di seluruh negeri ini. Bagaimana dengan massa
dan pengikut? Tak perlu ditanyakan, jumlah diriku saja dalam catatanku tahun
lalu sudah mencapai 3 juta orang, mereka semua bergelimang harta.
Relatif lebih mudah
untuk menyogok masyarakat yang kebanyakan miskin dan bodoh itu. Dan hal yang
lebih meyakinkanku untuk maju sebagai calon pemimpin negeri ini, tentu,
keserakahan! Ya, negeri ini tak layak dipimpin oleh orang baik-baik. Perasaanku
mengatakan negeri ini akan lebih baik dipimpin oleh orang yang serakah. Dan aku
mempunyai kriteria itu.
Lantas bagaimana jika
aku gagal? Toh, kalau pun gagal, bukankah masih banyak diriku yng lain
yang nanti akan mengikuti jejakku? Jadi
tak perlu khawatir tentang hal itu.
Karya : Ye Kusdianto aka Pak Yuyun :)
Megalomania, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti suatu kelainan jiwa yang ditandai oleh
khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran.
0 komentar:
Posting Komentar