Senin, 07 Mei 2012

MEGALOMANIA


Saat tengah menghitung penghasilan bulananku yang terdiri dari gaji dan pemasukan “lain-lain” entah mengapa tiba-tiba dadaku seperti ditusuk berpuluh jarum goni. Sakit. Sangat sakit. Jantungku berdetak sangat kencang. Berdegup-degup.

Gerakannya bahkan bisa terlihat saat kemaja yang aku kenakan turut berdenyut. Keringat dingin secara berleleran.Uang yang tengah kugenggam di tangan berserakan di lantai.

Rasa sakit bertambah. Dadaku serasa terbakar. Panas. Kemeja tergesa kubuka. Kulitku rekah. Dagingku terkoyak. Dadaku retak, seperti bongkahan tanah yang kering tak pernah tersiram air. Tepat di antara rangka tulang iga, muncul lobang kecil sebesar kelingking bayi. Lobang itu perlahan membesar. Anehnya tak ada darah yang mengucur dari sana.

Saat kepala kulongokkan dan mata kupicingkan, hanya kegelapan di dalam sana yang terlihat. Tak bisa ku saksikan tulang iga, serabut otot, gumpalan daging, jantung, paru-paru. Hanya hitam dan pekat. Belum selesai masalah dengan rasa sakit, kejut campur takut, dari lobang itu seperti ada sesuatu yang mendesak. Sesuatu itu menggeliat-geliat, berusaha memperlebar lubang yang ada.

Kepala manusia!

Sesuatu yang keluar dari dadaku sewujud kepala manusia. Kepala yang mengintip sebentar. Lobang tambah lebar, seiring usaha kepala itu menjejal keluar. Mula-mula rambutnya. Memburai. Ikal dan legam. Kemudian jidatnya nongol. Seterusnya mata, hidung, mulut dan seluruh batok kepala telah ada di luar, sedikit leher orang itu masih memdekam di dalam dada. Mata orang itu memandangku, mulutnya tersenyum, memperlihatkan deret gigi yang putih bersih, tapi terawat.

“Selamat malam.”

Ia menyapaku. Reflex lantaran takut, aku segera menapuk kepala itu kembali kedalam tubuhku. Ia terbenam. Sesaat saja. Ia menyembul lagi. Menyeringai, tampaknya tak suka dengan apa yang kulakukan. Tak peduli dengan reaksinya, kujejalkan lagi kepala itu.

Bayangkan bila tiba-tiba istri dan anak-anakku muncul dan mendapati ada kepala manusia sedang tumbuh di dadaku! Cepat kuambil plester dan lem untuk merekatkan kulitku. Namun itu segera menjelma kesia-siaan. Kepala itu menyeruak lagi, menghardikku dengan marah. Teramat marah.

“Brengsek! Kau mau mencoba membunuh dirimu sendiri!”

Ia menggeliat lebih hebat, dua tangannya kini berada diluar, mencengkeram kerah legerku erat. Napasku sesak.

“Kau ulangi sekali lagi, kucekik lehermu hingga mampus, Biar kita mati bersama-sama!” Ia mengancamku, cengkeraman tangannya lebih kuat.

“Sssiapa kau?”

“Kau lupa dengan wajahmu sendiri? Bodoh!”

“A…a…aku?”

“Ambil cermin, lihat wjahmu. Bandingkan dengan wajahku. Dasar bodoh. Orang macam kau, kok bisa jadi direktur.”

Aku menyahut cermin yang tadi kupakai bercukur, kupandangi wajahku. Kagum sebentar, ternyata aku lumayan ganteng. Lantas ku amati wajah orang itu. Benar adanya. Wajahnya mirip aku. Tidak hanya mirip, malah persis. Ya, sangat persis. Seperinya aku sedang berkaca pada sebuah cermin bening. Tidak bisa dipercaya, tidak bisa dinalar.

“Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa kau sebenarnya?”

“Kau masih saja bodoh. Aku ini dirimu.”

“Maksudmu. Kau duplikatku?”

“Goblok. . . goblok. . . Aku bukan sekedar kembaranmu. Aku adalah kau dan kau adalah aku.”

“Aku bingung.”

“Dasar direktur dungu.”

“Maksudku, bagaimana ini bisa terjadi?”

“Bukankah aku yang kau impikan selama ini?”

“Aku belum bisa mengerti.”

“Bego! Bukankah selama ini kau selalu gelisah setiap hari. Tidak pernah puas dengan keadaanmu yang sudah kecukupan. Kau ingin lebih dan lebih setiap haru. Kau ingat, waktu sudah punya satu mobil, kau masih ingin mobil lagi, yang lebih baru, lebih mewah. Dua mobil kurang, beli lagi dan beli lagi. Coba kau hitung berapa mobilmu sekarang. Satu, dua,tiga, . . . sepuluh bukan? Kau juga sudah punya ruamh megah, masih membeli ruamh lagi. Berapa rumahmu sekarang. Dua pulu. Benar? Tersebar di seluruh kota.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aduh tololnya kau ini. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku.”

“Oh, ya . . . ya. Aku lupa. Lantas hubungannya apa antara kamu,  mobil, serta ruamh tadi.”

“Aku lahir karena impianmu, kehendakmu, cita-citamu. Aku ada karena kegelisahanmu.”

“Kau ingin juga memiliki hartaku!”

“Wah rupanya sudah berani membentak, ya!”

Tangannya mencengkeram leherku lagi, kuat. Lebih kuat.

“Oh, . . . maaf. Maaf.”

“Begini. Kau selalu merasa kurang dan kurang setiap hari. Hanya istri saja yang tidak kau tambah. Meski begitu, bukankah wanita simpananmu teramat banyak? He. . . he. . .he. Tapi, sayangnya selama ini kau takut untuk melakukan hal yang lebih dan apa yang telah kau dapat, meski kau sangat ingin menambah kekayaanmu. Singkat saja, kau hanya berani mengutil uang perusahaan kecil-kecilan. Sembunyi sembunyi. Kau ingin seperti para konglomerat dan koruptor yang bisa membobol bank dan memanipulasi uang orang lain itu, kan? Tapi kau takut tertangkap. Maklum, relasimu kurang kuat. Bukankah kau sering berandai bila kau bisa diklononing. Bukan begitu? Nah, akulah jawabannya.”

“Ehmmmm.”

“Sekarang, kau tak perlu takut lagi. Kau bisa korupsi lebih rakus. Bisa membobol bank. Bisa menipu orang dan perusahaan. Dan kau juga membeli rumah, tanah, mobil, dan menumpuk harta hingga bergunung-gunung.”

“Lantas bagaimana kalau nanti aku tertangkap.”

“Bodoh! Bukankah ada aku. Jika kau tertangkap dan diadili, suruh hakim menghukum kau mati. Hitung-hitung memberi contoh pejabat dan konglomerat yang korup namun masih berani berkeliaran. Mentang-mentang tak tersentuh hukum. Jika kau dijatuhi hukuman mati, bukankah masih ada aku. Ingat aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Jika aku tertangkap lagi, dihukum mati lagi, sebelumnya aku akan menduplikasikan diri. Demikian seterusnya. Kau akan tetap ada, meski pemerintahan dan peraturan berganti. Kau akan tetap makmur meski orang lain sekarat dan mengerjat.”

“Lantas, jika tertangkap. Nanti ada dua aku, dong?”

“Menguntungkan bukan? Akan banyak kamu dan aku. Manusia dengan watak yang sama dan sifat yang sama. Serakah dan jahat. Tapi tak seperti penjahat.”

“Itu nanti bisa membingungkan orang. Masyarakat bisa geger.”

“Wah benar juga.”

“Ah, aku ada akal. Operasi plastik! Kita mesti mengubah wajah.”

“Ehmm. Cerdas juga kau ternyata.”

Usai menemukan kesepakatan. Ia melanjutkan prosesi keluar dari dalam diriku. Perlahan-lahan kulitku yang tadinya retak menutup kembali. Jantungku bedenyut normal.

Sungguh, ia benar-benar aku. Wajah, tinggi badan, cara berjalan, gaya bicara serta watak dan kepribadian. Untuk mengatasi permasalahan jika istriku mengetahui apa yang telah terjadi, kami bersepakat agar salah satu dari kamu menyingkir ke rumahku yag lain.

Seterusnya kami akan mengatur cara bagaimana aku memperkaya diriku dangan cara-cara jahat yang elegan.

                                                                           * * *

Maka demikianlah, kekayaanku menumpuk setiap harinya. Mobil mewah dan rumah megah semaki tak terhitung. Pabrik dan perusahaan juag bertambah setiap waktu. Uang menjadi hal yang mudah didapatkan tanpa perlu memeras tenaga dan keringat. Semuanya menjadi kian mudah.

Aku dan duplikatku tak pernah tertangkap. Memang sekali waktu pernah orang-orang menuduhku, sempat pula dibawa ke pengadilan. Namun kejahatanku tak pernah bisa dibuktikan. Kalaupun bisa, bukankah aku sudah mempunyai solusi atas semua itu. Aku punya banyak uang, dan bisa kulakukan semuanya dengan uang itu.

Namun ada hal yang lebih penting yang perlu kuungkap betapa aku selalu merasa tidak puas. Aku merasa kurang dan selalu kurang. Aku juga gelisah. Jika sudah demikian, maka prosesi penduplikasia ndiri berulang. Memang teramat sakit, jantungku berdenyut hebat, kulitku retak. Ada lobang di antara iga. Dan perlahan-lahan muncul diriku lagi.

Penduplikasian kedua kalinya itu, tak memakan waktu lama, lantaran tak ada lagi yang perlu dicakapkan antara aku dan dia. Aku dan dia adalah satu: satu kegelisahan, satu ambisi, satu keinginan, dan satu keserakahan.

Hingga prosesi penggandaan diri tak lagi menimbulkan rasa sakit. Semua berjalan sangat normal. Bahkan kini aku sangat menikmatinya, melebihi bercinta dengan wanita simpanan.

Entah berapa kali aku telah menduplikasikan diri. Entah berapa banyak aku telah tercipta dan ada. Meski demikian, aku tak lupa berpesan pada duplikatku, bahwa untuk menghindarkan kecurigaan masyarakat: bahwa kami tak boleh mempunyai wajah yang sama. Kami harus mengubah wajah kami secara berlainan. Maka, menjelmalah kami menjadi laki-laki atau perempuan dengan bermacam profesi: mulai dari mahasiswa, pengusaha, konglomerat, aparat, wakil rakyat, birokrat, pejabat dan lain-lainnya. Oh ya, tak satupun dari kami yang miskin. Semua kaya dan berada. Sebagian besar dari kami dihormati. Desegani dan ditakuti. Hanya beberapa yang dicela. Sangat sedikit yang masuk penjara.

Kami semakin bertambah banyak setiap hari, lantaran setiap duplikasi sudah berhak menduplikasikan dirinya sendiri. Jadi bukan hanya aku saja yang bisa menduplikasi diri.

Bukankah kami mempunyai kegelisahan yang sama akan keserakahan. Bukankah kami mempunyai tujuan sama : memuaskan diri kami dan keinginan kami seakan tak pernah tercukupi itu. Pada waktu yang terus merangkak, kami semakin bersemangat menduplikasi dan terus-menerus memperbanyak diri. Kami telah bertekad memenuhi negeri ini dengan diri kami : orang yang mempunyai sifat, ambisi dan niat yang sama.

O la la, hampir lupa. Aku pribadi berencana untuk mengajukan diri menjadi calon presiden negeri ini. Akan kugunakan segala cara untuk mencapainya. Bukankah aku mempunyai modal yang kuat untuk itu? Hartaku berlimpah. Kalaupun kurang aku bisa meminta bantuan dari para duplikat yang tersebar di seluruh negeri ini. Bagaimana dengan massa dan pengikut? Tak perlu ditanyakan, jumlah diriku saja dalam catatanku tahun lalu sudah mencapai 3 juta orang, mereka semua bergelimang harta.

Relatif lebih mudah untuk menyogok masyarakat yang kebanyakan miskin dan bodoh itu. Dan hal yang lebih meyakinkanku untuk maju sebagai calon pemimpin negeri ini, tentu, keserakahan! Ya, negeri ini tak layak dipimpin oleh orang baik-baik. Perasaanku mengatakan negeri ini akan lebih baik dipimpin oleh orang yang serakah. Dan aku mempunyai kriteria itu.

Lantas bagaimana jika aku gagal? Toh, kalau pun gagal, bukankah masih banyak diriku yng lain yang  nanti akan mengikuti jejakku? Jadi tak perlu khawatir tentang hal itu.


 Karya : Ye Kusdianto aka Pak Yuyun :)


Megalomania, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti suatu kelainan jiwa yang ditandai oleh khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran.

0 komentar:

Posting Komentar