Hujan pun mengiringi kepergiannya. Semua orang
yang sayang dia, pasti tahu betapa cintanya dia terhadap sang hujan. Dia sering
menari-nari di bawah hujan. Tapi kini dia tak bisa menari-nari seperti biasa,
karena dia diam tak bergerak di dalam sana. Dan hanya tinggal aku di sini di
temani sang hujan yang menghapus tangisku yang tak tertera.
* * *
Ini tahun ke dua ku bersama dia, dan tepat hari ini
pula tanggal yang sama di bulan yang sama 2 tahun silam kita berjanji untuk
mengikat satu sama lain dalam sebuah ikatan “pacaran”. Duduk berdua di teras, memandangi air hujan yang menari
dengan anggunnya.
“Nggak
terasa hari ini datang lagi ya.” katanya padaku.
“Datang
lagi? Emang ada apaan sih?” aku pura-pura nggak tahu.
Dengan memasang wajah
cemberutnya yang khas, “Masak kamu nggak inget moment penting di hari ini?”
Dan aku pun masih pura-pura berpikir.
“Ah
aku sebel, pokoknya aku benci kamu!” tandasnya, memalingkan muka.
“Ih,
si cantikku ngambek ya, kalau ngambek gitu tambah cantik deh.” rayuku. Tetap
tak ada respon. “Ya udah, aku minta maaf ya? Aku inget kok, hari ini hari apa,
makanya aku membawa ini." Sambil mengeluarkan kotak kecil berwarna merah hati
kesukaan dia.
“Coba
liat sini dong. Jangan cemberut mulu napa. Kalo nggak mau liat sini, ya udah
deh hadiahnya nggak jadi buat kamu.” Godaku
Akhirnya
dia membalikkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan tak percaya. Melihat
kotak dan melihat wajahku bergantian dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apa
ini yam?” tanyanya.
Iya,
“yam” adalah panggilan sayangnya ke
aku katanya sih. Dia lebih suka memanggilku demikian daripada memanggil namaku
atau memanggil dengan istilah sayang atau apalah. Karena baginya kata “yam” itu selain simple juga mempunyai
arti khusus, yaitu “You And Me” atau “You Are Mine”. Romantis yaa?
Membuka
kotak dengan posisi jongkok di depannya dengan satu kaki di tekuk di tanah, aku
beranikan diri untuk berkata, “Maukah kamu hidup bersamaku?” kutatap matanya
dengan penuh keyakinan. Kulihat pipinya yang bersemu merah dan senyumnya yang
menawan.
Ku
ulangi perkataanku, “Maukah kamu hidup bersamaku dalam suka maupun duka?”
Dengan
malu-malu dia menganggukan kepala dan itu pertanda bahwa dia menerima
lamaranku.
“Makasih
ya sayang.” Ku cium keningnya lalu mengenakkan cincin pemberianku di jari
manisnya.
* * *
Langit
nampak redup, tidak cerah. Mungkinkah sedang murung?
“Ah
nggak sabar nih, masih 2 hari lagi.” Kataku.
“Yam.
. . . .”
“Iya,
ada apa cantikku? Kamu sakit?” tanyaku penasaran.
“Eh
nggak jadi deng.” Masih menggantung. “Tapi, ehmmm, kamu mau nggak nurutin
permintaanku sebelum acara pertunanganku besok lusa?” tanyanya hati-hati.
“Apa
itu sayang? Apapun yang kamu minta, aku akan turuti. Janji deh.” Sambil menggenggam
tangannya.
“Apapun
itu?”
“Ya,
apapun.” Tegasku. “Selama aku bisa mengabulkannya.” Tambahku
“Aku
ingin tahu, apakah kau tulus sama aku atau tidak . . . .”
“Jadi
kamu meragukanku?” memotong perkataannya.
“Enggg
. . .gak gitu yam. Cuma saja aku ingin lebih meyakinkan diriku kalau kamu
benar-benar cinta dan sayang sama aku.” Katanya hati-hati.
“Baiklah
kalau gitu. Percaya sama aku ya cantikku. Kalau gitu coba apa permintaanmu?”
“Aku
cuma minta, besok sehari penuh kita nggak komunikasian dulu. Kita nggak SMS-an,
kita nggak telepon-teleponan, ataupun kamu nggak boleh datang kerumahku. Gimana,
sanggupkan kamu?” tanyanya.
“Kalau
itu sih kecil sayang. Aku pasti sanggup kok.” Kukedipkan sebelah mataku dengan
genit pertanda setuju.
Tiba-tiba
langitpun tak sanggup menampung air yang dari tadi bersembunyi dibalik awan
hitam pekat dan menumpahkannya. Seketika dia berlari menuju halaman rumahnya,
untuk bermain bersama rintikan hujan, menari. Dan ku lihat senyuman dia yang
sangat menawan lebih dari biasanya. Aneh pertanda apakah ini. Padahal, dia juga
sering melakukan hal yang sama. Aku tahu dia sangat menggilai hujan. Katanya
air hujan itu dapat membuat perasaannya jadi senang, nyaman, dan hangat. Aneh
sih, tapi itulah si cantik bidadari hujanku.
* * *
Aku
hampir gila. Mungkin tinggal 20% kewarasanku sekarang. Padahal ini baru 12jam
aku melakukan tantangannya tanpa komunikasi. No SMS. No telepon. Bahkan
bertemupun nggak bisa. Aahhhh, perderitaan apa ini. Uring-uringan sendiri
dikamar memang persis membuatku nampak seperti orang gila. Penyakit malarinduku
menggerogoti saat ini. Hanya dapat menatap fotonya. Dia tersenyum manis di
dalam foto itu. Menari bersama rintikan hujan. Ya, saat itu gerimis di kala
senja ketika mengambil foto itu.
“Ah
dasar, si cantikku si bidadari hujanku, kau membuatku gila sekarang, betapa aku
sangat merindukanmu.” Berbicara dengan sosok yang ada di dalam foto.
“Mungkin
kamu sekarang sedang sibuk mempersiapkan pertunangan kita besok kan?” Mungkin
aku sudah gila beneran nih. “Aku pasti bisa melewati 24 jam ini. Tunggu aku ya
cantik.”
* * *
“Akhirnya
hari ini telah datang juga.” Kataku pada matahari pagi. “Siap-siap untuk
bertemu si bidadari hujanku.”
Selesai mandi, tiba-tiba, dok . . . dok . . . dok . . .
“Siapa?” tanyaku.
“Ini Ibu nak. Ibu boleh masuk?”
“Iya bu, masuk aja. Pintunya nggak kekunci kok.” Kataku
sambil berpose didepan kaca.
“Nak, kamu nggak papa kan? Mungkin memang ini sudah
jalannya.” Isak Ibu didepanku.
Hah? Ada apa sih ini. Kok Ibu nangis di depanku.
Emang ada apa. Aku masih belum jelas. Bingung. Kaget. Campur aduk jadi satu.
*
* *
Ini lah rumah yang selama ini selalu ku kunjungi.
Tetapi ada sesuatu hal yang berbeda dari biasanya. Tak ada teriakan ceria
memanggil namaku dari seorang gadis cantik untuk menyambutku ketika aku datang.
Seharusnya, hari ini semua orang bahagia di sini. Tapi mengapa sekarang orang
berduka disini? Ku beranikan diri untuk memasuki pintu itu. Pintu jawaban. Pintu
yang memberikan jawaban yang mungkin akan menyakitkan hati. Jawaban yang sangat
ingin aku menyangkalnya.
Ku lihat sebuah peti di tengah-tengah orang yang
berduka. Seakan-akan peti tersebut menjadi titik porosnya. Sebuah peti yang
membuat orang terhipnotis untuk mengelilinganya. Sebuah peti yang berisi,
entahlah, aku tak ingin membayangkannya. Kepalaku terasa berat dan pening.
Seakan tak sanggup lagi menyaksikan adegan yang sangat menyakitkan. Kaki ini
tiba-tiba lemas. Seakan egan diajak untuk menyaksikan isi peti itu. Semua
melihatku dengan tampang yang menandakan mereka semua kasihan terhadapku.
Seketika aku berharap, ada yang membuatku menghilang dari tempat itu juga.
Sungguh, aku tak mau melihat si bidadari hujanku
terbaring diam membeku tak bergarak di dalam peti itu. Aku tak ingin melihat
wajah cantiknya karena aku tak ingin dia melihat wajahku yang menyedihkan ini.
Tiba-tiba seseorang wanita setengah baya
menghampiriku. Ya, ini dia sang ratu bidadari hujan yang telah melahirkan bidadari
hujanku. Wajahnya tak kalah menyedihkan sama sepertiku. Terlihat sangat
terpukul. Bahkan lebih terpukul.
“Nak Rony, yang sabar yaa. Ibu menemukan ini di kamar Hujan, mungkin ini buatmu nak.” Katanya
lirih, terdengar rasa terpukul yang amat dalam.
“Iya bu, terima kasih.” Balasku.
* * *
Kepergiannyapun
di iringi hujan. Seperti namanya “Bidadari Hujan” yang tertulis di papan nisan.
Sepertinya hujan pun ikut merasa kehilangan sang bidadarinya sepertiku yang
kehilangan sang bidadari hujanku. Ku baca secarik kertas yang di berikan
Ibunya.
Dear Rony Dewanto . .
Kamu telah
berhasil YAM untuk melewati tantangannya.
Bisakah kamu
melakukannya setiap hari?
I LOVE YOU
Your
lovely
Bidadari
Hujan
with love
hanna